JOURNAL JOURNEY SWARNADWIPA (SUMATRA) PART 4

BARUS…. HATI YANG TERTAMBAT

..Claudius Ptolomeus, Gubernur Yunani di Alexandria Mesir memberi catatan tebal tentang sebuah peradaban maju bernama Barousai. Zona ini adalah bandar niaga jauh di ujung dunia belahan Timur. Peta ini berangka tahun 2 Masehi. Ia ada di ujung Barat Sumatra tempat sebuah zat paling berharga di dalam kayu Kanfer yakni kapur Barus. Wewangian ini dicari orang-orang untuk kepentingan khusus, bahan parfum dan zat pengawet mayat  dari jaman Nabi Musa, digunakan para Fir’aun berbagai generasi untuk mengawetkan pada raja-raja, istri dan petinggi kerajaan……. Written and Photograph By Isfandiari MD

Komplek Pemakaman Syech Rukunuddin dan santrinya
Ziarah makam leluhur Syech Ibrahimsyah
Makam Papan Tinggi setelah melewati sekitar 800 anak tangga

Semua info yang didapat itu membuat kami ‘tertambat’ cukup lama di wilayah ini. Energi dan romantika yang tersimpan di masa lalu seolah beresonansi di masa kini. “Entah apa yang menjadi tuah Barus. Saya dulu sekali tersedot untuk datang kesini dan masih di sini sampai sekarang,” pengakuan seorang tua kepada Bang Erbe Sentanu saat dia jalan-jalan di sekitaran pantai Barus. Ia dan kami beruntung sampai di wilayah ini, kampung halaman road captain tim Tuanku Alamsyah Arif Rahmansyah Marbun (Minggu 8 Juli 2025)

              Sebagai adab juga ibadah, kami diboyongnya ziarah beberapa makam kerabat. Selain Makam Papan Tinggi dan Mahligai, dua komplek makam menjadi tujuan kami. “Informasi terserak  memerlukan daya upaya keras untuk disusun.Walau belum mendekati kesempurnaan jalur nasab, kita bisa menapaki jejak jejak mulia leluhur kita.Ziarah ke Bapak Dolok putra Yang Mulia Mara Alamsyah membawa nuansa sakral riwayat mereka mengisi peradaban zaman romantisme kerajaan Pagaruyung,Kesultanan Indrapura juga Raja Palopa.Kisah leluhur kami, ini membawa kami berziarah,menghayati olah karsa dan rasa mereka dalam syiar Islam di Tanah Batak dan beresonansi ke seluruh pelosok Nusantara.Moga generasi ke depan tetap memelihara jejak nasab ini agar mereka menauladai kiprah insan insan mulia, menjadi pencerah yang mencerahkan,sebagai  nasab  penyambung energi besar untuk kami memgabdi pada negri tercinta,” papar Bang Arif saat  kami melangkahkan kaki menuju makam luluhurnya itu.

              Suasana makam kuno itu menyisakan kesan tersendiri. Nisan-nisan bertuliskan arab pegon yang menerangkan nama, kelahiran dan kematian masih tersusun rapi dan dirawat dengan baik.   Doa khusyuk dipanjatkan, udara pagi masih sangat terasa dan sinar mentari menyeruak berpendar dari sela-sela dedaunan. Setelah itu sebuah agenda penting dilakukan, berkunjung ke makam tokoh penting yang juga leluhur Bang Arif Marbun,  Tuanku Ibrahimsyah pendiri Kesultanan Barus.

KEPEDULIAN ANAK CUCU  SULTAN IBRAHIMSYAH   SEBAGAI SURI TAULADAN

Pembebasan lahan di depan makam Sultan Ibrahimsyah , ditandatangani oleh keturunnya, Tuanku Alamsyah Arif Rahmansyah Marbun

Tuanku Ibrahimsyah bukanlah orang biasa. Ia adalah tokoh pendiri  Kesultana Barus dengan riwayat panjang dang berakhir saat pendudukan Belanda di Abad 19. Bermula dari keluarga Kesultana Indrapura ta Tarusan Pesisir Selatan lantas berbelok ke Utara menuju Barus dan lahirlah sebuah kesultanan oleh Sultan Ibrahinsyah bin Muhammadsyah dari Tarusan Pesisir Selatan tanah Minangkabau. Dalam naskah naskah tersusun, terjadi masalah antara Tuanku dengan keluarganya di Tarusan hingga beliau memilih menyusuri pantai Barat Sumatra hingga tiba di Batang Tobu dan terus masuk kempadalaman daerah Silindung. Kharisma beliau sangat kuat di sana hingga ia diangkat menjadi raja di Toba-Silindung. Disana beliau membentuk institusi empat penghulu sepertihalnya di Minangkabau. Para pengulu inilah yang mewakili Silindung dalam berbagai hubungan diplomatis dengan Kesultanan lain. Setelah membentuk institusi ini, sang raja berpindah menuju Bakara dan menikah dengan putri  raja setempat. Dari hasil perkawinan itulah lahir seorang putra bernama Sisingamangaradja.

              Dai sana beliau melanjutkan perjalanan ke Pasaribu dan bertemu raja disana. Dalam sebuah naskah disebutkan bahwa Ibrahimsyah  berkata ia juga bermarga Pasaribu. Raja sangat senang karena tokoh kharismatik ini bermarga sama dan memintanya tinggal di Pasaribu. Sejarah menceritakan beliau tidak berkenan tinggal di sana dan memilih terus bergerak ke tepi laut bersama raja-raja dari 4 pusaran (Empat Suku), tepi laut itulah yang dinamainya BARUS,  sesuai nama kampung halamannya saat di TARUSAN. Disini beliau diangkat sebagai raja dengan gelar Tuanku Ibrahimsyah.

              Kesultana Barus terbilang gemilang di Abad 14, ia adalah pelabuhan ramai bagian dari Kerajaan Pagaruyung bersama Tiku dan Pariaman, dan menjadi pintu utama jalur pedagangan ke Swarnadwipa (Sumatra). Tahun 1525 Kesultanan Barus ada di bawah Kesultanan Aceh lalu beralih menjadi  kekuasaan kerajaan Minangkabau (Pagaruyung).  Posisi Kesultanan   ini menjadi kemudaia menjadi pengikut (vassal) Aceh  hingga tahun 1668. Jadi tak heran, semasa inilah warga Barus  berpindah keyakinan dari kepercayaan tradisional dan memeluk agama Islam.

              Kisah sejarah terus bergulir. Pernah, Barus dipimpin 2 raja yakni Raja Hulu mempimpin Tona-Silindung (Pedalaman) dan Raja Hilir yang memimpin orang-orang Minangkabau (Pesisir) bermukim di Barus hingga Batahan. Pembentukan 2 raja ini memberikan keuntungan terhadap dominasi Aceh Di Barus sekaligus melegitimasi  kedudukan raja-raja Batak.  Masuk VOC  (Vereenigde Oostindische Compagnie) Perusahaan Hindia Timur Belanda di 1668 menciptaklan dualisme sikap antara 2 raja ini. Raja Hulu menolak kehadiran VOC dan bersumpah setia pada Aceh sedangkan Raja Hilir menerima VOC dan menentang dominasi  Aceh di Barus. Akhirnya, pada abad 19 Barus jatuh menjadi kekuasaan VOC dan masuk propinsi Sumatra Weskust (Barat) , berpusat di Padang.

              Histori Hikayat inilah yang membuat anak-cucu keturunan Tuanku Ibrahimsyah tergerak. Salah satu bakti yang bisa dijadikan suri taulana adalah merawat makam  agar lebih nyaman dikunjungi peziarah.  “Saat ini malam Tuanku Ibrahimsyah dan keluarganya terhalang sebuah bangunan ruko dari jalan raya. Melalui ikhtiar inilah kami membebaskan tanah ini agar murni menjadi bagian dari kompleks makam. Ke depan, ruko ini ajan dirobohkan dan dibuatkan musholla atau mesjid yang layak  bersanding dengan makam di belakangnya. Para peziarah akan lebih nyanam datang kesini, beribadah dan berdoa,” haru Tuanku Alamsyah Arif Rahmasyah Marbun saat penandatanganan legalitas pembelian ruko yang persis di depan kompleks makam. Kejadian ini termasuk viral saat itu karena prosesi penandatanganan ada di areal makam desa Gabungan Hasang Kecamatan Barus.

              Tak sampai distu ada juga moment penting pelatakan batu pertama di sebuah areal lahan kosong tak jauh dari areal ini. Untuk hal ini masih menyisakan tanda tanya. Biarkan saja waktu yang akan menjawab……

SEE YOU IN NEXT JOURNEY—SWARNADWIPA PART 5

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *