Penulis : Isfandiari. MD Photo : Isfandiari. MD
GASRIDE – Di penghujung Juni 2023 (28-29-30), Garuda Indonesia Jakarta- Padang menghantarkan kami menuju Sumatra Barat. Destinasi akhir, Koto Panalok, Kapau Bukittinggi (hati salah tulis: Bukit Tinggi, merujuk pada daerah di Minahasa Sulawesi-Red) . Zona ini punya nilai sentimentil tersendiri. Di sanalah almarhum ibunda kami Asni Asymawi dibesarkan, bersekolah dan mengalami masa kecil yang indah. Sebuah desa elok yang penuh kenangan bahkan menghadirkan keharuan.

Saat roda gendut menggesekkan karetnya di airport Minangkabau- Kota Padang, semua ke kenangan seakan menyeruak. Bertahun lalu, kami pulang basamo (pulang persama), bersama orangtua yang masih lengkap. Ada almarhum ayahanda Mahbub Djunaidi, juga ibunda tercinta yang asli Minangkabau, almarhumah Asni Asymawi, dulu kami masih kecil-kecil, semua kenangan terpatri indah tak bercela.
Kini tinggal 3 saja kami ini. Saya sebagai adik terkecil, Kak Mirasari dan Kak Tamara Hanum. Padang yang panas menghantarkan kami ke Mesjid Raya Padang beraksitektur unik. Setelah shalat dzuhur, disempatkannya waktu berfoto bersama, berlatar belakang mesjid untuk kemudian mampir ke spot kuliner kebanyakan, Kripik Sanjay Christine Hakim yang ada di jantung kota. Seorang ibu yang sangat menginspirasi, warga Padang yang terkenal sukses menjalankan bisnis kuliner di Sumatra Barat.
Boleh dibilang, inilah start awal perjalanan kami. Tujuan utama bukanlah kota padang tetapi zona cantik, dingin di dataran tinggu Sumatra. Itulah Bukittinggi, kota mungil dipeluk 3 Gunung , Merapi, Singgalang dan Bukit Barisan. Kota yang menorehkan berbagai kenangan, penuh nuansa sejarah; banyak peninggalan perang, kuda delman tegap menyerupai kuda balap, ngarai Sianok gagah dan megah, insan kaum intelektual berskala nasional dan internasional. Dan yang terpenting, di tempat inilah ibunda kami menghabiskan masa-masa kecilnya. Boleh dikatakan lelaku napak tilas, menapaki jalan-jalan yang biasa beliau lewati : perjuangannya bersekolah dari Koto Panalok Kapau ke pusat kota atau berbelanja di Pasar Atas yang masyur incarannya para saudagar pencari kain-kain terbaik. Semua kegiatan itu tentunya ditemani angin lembut dingin yang turun dari Gunung Singgalang menuju lembahnya.

Hari pertama, suasana Hari Raya Idul Adha sangat terasa. Kebanyakan warga Bukittinggi, merayakannya di Rabu (28/06). Sedang kami bertiga lebih cocok mengikuti arahan pemerintah RI yang menyelenggarakan Hari Raya di Kamis (29/6). Syukurlah, beberapa warga sama memilih Kamis sama dengan kami dengan meringankan langkah menuju Mesjid Mesjid Al Ihsan di Banto Laweh, persis di bibir atas Ngarai Sianok tak jauh dari Hotel Santika tempat kami menginap. Suasana khusyuk kami rasakan dan udara pagi yang segar senantiasai setia menemani. Seusai beribadah, disempatkan juga berfoto di pekarangan warga yang banyak menanami pekaranganya dengan bunga beraneka warna. Rancak bana….
Masuk waktu dzuhur, napak tilas sejarah keluargapun dimulai dengan memasuki kawasan Koto Panalok wilayah Kapau. Di sana kami teruskan merangsek masuk ke jalan desa dengan hiasan persawahan luas berlatar belakang Gunung Marapi yang anggun. Tak berapa lama, gtibalah kami di kampung kecil berdirinya 2 rumah gadang yang historikal : rumah Gadang kakek kami, KH, Asymawi Bin Sisingamangaraja dan nenek kami Ibunda Fatimah. Keduanya memang bertetangga, saling naksir dan akhirnya menikah. Salah satu anak mereka adalah ibu kami, Asni Asymawi.

Memang sepi tempat ini. Sesuai kebiasaan warga Minang, kaum mudanya tergerak merantau mencari penghidupan yang lebih baik. Hasrat sang pemberani warga Kapaulah yang menggoda mereka pergi jauh mencari rizki di seantero Nusantara. Bahkan banyak dari mereka berkelana sampai negeri Malaysia atau Singapura, mencari pengalaman agar garis hidup tidak stagnan. Mereka berharap sukses di perangtauan dan bisa membanggakan para leluhurnya. Sampai menjelang sore, tak terasa kami betah berlama-lama, dan mengabadikan jalan kenangan dari desa menuju jalan besar untuk terus lanjut ke Kota Bukittinggi. Kabarnya ibunda kami berjalan setelah shalat subuh, dan meneruskan perjalanannya ke kota Bukit Tinggi untuk bersekolah. Sungguh perjuangan yang berat dan melelahkan. Ilmu itu beliau cari sebagai bekal merantau di kemudian hari, tanah Jawa... Jawa Barat atau Bandung tepatnya. Di bumi Priangan itulah nanti bertemu sang pujaan hati, ayah kami yang asli Betawi. Kisah yang panjang dan romantis bukan?
KOTO GADANG, ZONA ALIM ULAMA DAN KAUM INTELEKTUAL
Ada gengsi tersendiri bagi warga Koto Gadang kabupaten Agam, tak jauh dari Kota Bukittinggi . Dari sisi estetika, daerah ini sungguh resik dan asri. Selera arsitektur warganya juga baik, beberapa berwujud rumah Gadang, namun mayoritas justru rumah bergaya kolonial bercampur gaya Melayu. Sampai sekarang, rumah-rumah ini terawat dengan baik menandakan memiliki selera bagus berkelas dari warganya.

Tapi kebanggaan terbesar bukanlah itu. Koto Gadang adalah gudangnya para tokoh besar. DNA mereka adalah para pemikir dan orang-orang pintar yang biasa mereka sebut, Kaum Cerdik Pandai. Sebut saja, Tokoh besar yang namanya bersinar di Mekkah yakni Kyai Ahmad Khatib Al Minangkabawi. Beliau kelahiran Nagari Koto Tuo Kecamatan IV Angkek Kabupaten Agam pada 1860 dan wafat di Mekah tahun 1916 atau 8 Jumadil awal. Penganut mahzab Syafii ini menjadi Imam Besar di Masjidil Haram dan memiliki murid-murid insan ternama seperti KH. Hasyim Ashari (Pendiri Nahdlatul Ulama), Kyai Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), Sulaiman Ar-Rasuli (Pendiri PERTI) dan banyak lagi. Ada juga tokoh Kota Gadang seperti Bapak Agus Salim, Mentri Luar Negri Indonesia, Bapak Sutan Syahrir, Bapak Emil Salim atau yang tak kalah besar, Ibunda Rohana Kudus, jurnalis wanita ternama di jamannya. Dari generasi ke generasi lahir terus para tokoh asal Koto Gadang, yang membuat zona ini tetap memiliki wibawa yang besar.

Di wilayah ini kami sempatkan juga bertandang ke tempat kerajinan Amai Setia yang didirikan di tahun 1915. Ada keterkaitan sejarah yang penting di sini. Nenek mereka adalah Ibunda Rohama Kudus, pejuang wanita brilian yang namanya tercatat dalam tinta emas sejarah Jurnalistik nasional. Beliau mendirikan penerbitan Soenting Melajoe dan didaulat menjadi pahlawan nasional oleh Presiden Joko Widodo. Kakak kandung Sutan Syahrir ini adalah pendiiri Sekolah Kerajinan Amai Setia, berasal dari keluarga Jurnalis pendiri surat kabar perempuan POETRI HINDIA. Beliau memang orang cerdas dan mampu berbahasa Belanda sejak usia 8 tahun.

Dari sana kami lanjut menuju destinasi wisata seru di perbukitan, Wilayah Puncak Lawang yang bisa menyaksikan keindahan danau Maninjau dari ketinggian. Puncak inu sungguh indah, menjelang sore kabut sudah turun menghalangi pandangan dan udara dingin menusuk tulang. Di daerah inilah tepatnya di Nagari Sungai Batang Kab. Agam, kampung kelahiran Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah atau akrab disapa Buya Hamka, ulama terkemuka dan sastrawan. Beliau adalah pemimpin redaksi Pedoman Masyarakat dan menghasilkan karya sastra legendaris seperi Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.

Puas menikmati indahnya lansekap Puncak Lawang, kamipun bergegas pulang menuju kota Bukit Tinggi, untuk bisa menikmati setiap moment di Pasar Atas. Kehidupan warga yang dinamis! Ada lantunan pengamen jalanan yang bernyanyi serius tidak ngasal, kuliner nikmat Nasi Kapau atau Sate Padang yang hangat. Tak terasa, waktu berjalan cepat, esoknya harus segera ke airport Minangkabau Kota Padang untuk pulang ke Jakarta. Perlu du ajam lebih kurang dari Bukit Tinggi ke Padang. Perjalan yang menyenangkan melewati air terjun Batang Anai persis di pinggir jalan. Segerombolan monyet Beruk seakan-akan melambaikan salam perpisahan. “Di belakang Batang Anai ada air terjun yang lebih besar lagi…, kapan kapan kesana ya, tapi harus berjalan kaki,” ajak Uda Rizky, driver kami dari Bukittinggi ke airport Minangkabau. Sang driver sedang bergembira karena anak pertamanya tak lama lagi lahir. Selamat! Diberi nama siapa Uda? “Saya sedang pikirkan…KHALID..seperti sang Pedang Allah yang berjuang bareng Rasulullah.,” katanya pasti. Ok..ok moga lancar, salam untuk istri dirumah