By Yankee, MDC
“Setolol-tololnya orang adalah dia yang tidak tahu sejarah, dan sehina-hinanya orang adalah dia yang merekayasa (merubah) sejarah.” — Mahbub Djunaidi

Mahbub Djunaidi dipenjara oleh rezim Soeharto pada tahun 1977 di rumah tahanan Nirbaya, Jakarta Timur. Bung Mahbub ditahan tanpa melalui proses pengadilan yang jelas, di masa Orde Baru, karena pandangannya yang anti-rezim tersebut.
Penangkapan “Sang Pendekar Pena” di kediaman pertamanya di Jalan Nilem Bandung lalu diseret ke jalan Jawa kemudian di mamsukan kedalam penjara menunjukkan adanya ketegangan politik dan penindasan oleh pemerintah Orde Baru terhadap kritik kritik tajamnya yang ditulis di berbagai media saat itu.
H. Mahbub Djunaidi, adalah seorang tokoh pers nasional dan politisi NU. Buah pemikirannya dari kecerdasannya adalah telah membuat undang undang pers, dan sekarang bisa dinikmati oleh banyak perusahaan media dan insan pers.
Bung dipenjara tanpa melalui sidang pengadilan pada tahun 1977 oleh rezim Orde Baru. Penangkapan ini disinyalir terkait dengan tulisan-tulisannya yang mengkritik pemerintah dan adanya isu suksesi kepemimpinan nasional pada saat itu. Beliau mengusulkan Ali Sadikin menjadi Presiden.
Melalui tulisannya yang sangat tajam, kritis, dan penuh sindiran, Mahbub Djunaidi memposisikan sebagai rakyat kebanyakan, karena memang selama bergaul di komplek PDK, rumahnya di jl Kliningan Bandung, beliau sama sekali tidak pernah menunjukan diri sebagai tokoh publik tingkat nasional bahkan dikenal oleh para mahasiswa dan politisi di luar negeri.
Beliau mencoba memotret suara rakyat dalam hubungannya dengan negara, yang secara tidak langsung merupakan kritik terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru yang dipimpin Soeharto saat itu. Suara khas beliau sering terdengar lewat sambungan telepon di radio Mara saat menyiarkan segmen politik.
Setelah beliau meninggalkan tempat kelahirannya dan pindah ke Bandung, Mahbub Djunaidi benar benar merdeka sebagai orang Indonesia dibandingkan tinggal di Tenabang dan harus menyandang sebagai orang Betawi. Di Bandung Bung Mahbub benar-benar mengekplorasi isi pikirannya dan apapun yang terlintas di kepalanya. Anehnya tokoh tokoh dari daerah lain setelah pindah dan tinggal di Bandung semuanya berpikir kritis, tajam dan tanpa kompromi, sebut saja Bung Besar (Sukarno) dan Bung Kecil (Sutan Sjahrir). Anehnya ketiganya sama sama mengalami nasib yang sama !!
Saya melihat hubungan Mahbub Djunaidi sebagai kritikus yang sangat vokal dari kalangan pers dan NU dengan penguasa Orde Baru (Soeharto) lsifatnya lebih antagonistik secara politik, walaupun setelah bebas dari penjara, Sang Pendekar Pena datang ke Cendana setelah diundang oleh Ibu Tien Soeharto. Tapi sejarah mencatat dipenjaranya Mahbub Djunaidi adalah bukti nyata adanya konflik dengan Pak Harto dalam setiap kebijakan dan tindakan politiknya The Smiling General!
Sejarah dan biografi Mahbub Djunaidi kebanyakan membahas keteguhan sikapnya, surat-suratnya dari penjara, dan perjuangannya untuk kebebasan pers dan demokrasi, daripada keakraban pribadi dengan penguasa yang memenjarakannya. Mahbub Djunaidi bukan seorang penjilat!!
Dari sini kita bisa melihat bahwa Mahbub Djunaidi tetap berhubungan baik dengan Pak Harto sebagai insan manusia tapi perbedaan ideologi politik dan penindasan rezim terhadap rakyat tetap menjadi perjuanga Si Bung yang tak pernah berhenti membela kepentingan rakyat!
Sejak era reformasi bergulir, generasi muda sekarang memiliki akses yang sangat mudah untuk belajar sejarah, baik melalui internet, buku, maupun sumber lainnya. Namun,sangat disayangkan banyak yang tidak memanfaatkan kesempatan ini.
Dan yang perlu diingat, arsip hidup juga merupakan sumber yang sangat berharga untuk memahami sejarah, karena mereka dapat memberikan kesaksian langsung tentang peristiwa yang terjadi. Namun, memang benar bahwa cerita mereka mungkin akan menimbulkan kontroversi, karena sejarah seringkali memiliki banyak versi dan sudut pandang yang berbeda.
Tapi, justru itulah yang membuat sejarah menjadi menarik dan penting untuk dipelajari. Dengan memahami sejarah, kita dapat belajar dari kesalahan masa lalu, menghargai perjuangan para pendahulu, dan menjadi lebih bijak dalam menghadapi masa depan.
Layakkah Soeharto Menyandang Gelar Pahlawan Nasional? Pertanyaan ini dilontarkan oleh seorang Kader PMII lewat WhatsApp kepada saya ketika dia membaca berita Pengangkatan Soeharto menjadi Pahlawan Nasional. Tulisan ini untuk menanggapi pertanyaan itu.
Soeharto adalah sosok kontroversial yang memiliki peran penting dalam sejarah Indonesia. Beberapa buku yang ditulis sejarawan mencatat bahwa Soeharto berperan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, terutama dalam Pertempuran Lima Hari di Yogyakarta dan Serangan Umum 1 Maret 1949. Selama masa pemerintahannya, Soeharto melakukan pembangunan ekonomi yang signifikan, termasuk industrialisasi, pembangunan infrastruktur, dan peningkatan produksi pangan. Beberapa penulis bilang bahwa Soeharto juga berhasil menciptakan stabilitas politik setelah masa transisi yang tidak stabil pasca-kemerdekaan. Tapi tentu saja objektivitas seorang sejarawan patut dipertanyakan.
Disisi lain pihak ada juga sejarawan, wartawan, aktivis pergerakan dan masyarakat bahwa Soeharto harus bertanggungjawab atas pelanggaran HAM berat, termasuk pembantaian massal pada tahun 1965-1966, penindasan gerakan pro-demokrasi, dan penggunaan kekerasan terhadap masyarakat sipil. Diberbagai media pada saat itu disebutkan bahwa Soeharto dan keluarganya terlibat dalam kasus korupsi dan nepotisme yang merugikan negara dan masyarakat. Dan yang paling mudah diingat oleh rakyat kebanyakan menyebutkan bahwa gaya kepemimpinan Soeharto sangat otoriter, terlalu menekan kebebasan rakyat dalam mengeluarkan pendapat baik secara lisan maupun tulisan. Catatan sejarah yang bisa kita baca Soeharto tidak segan untuk menghabisi oposisi / lawan politiknya.
Penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional menjadi perdebatan masyarakat, khususnya di Indonesia.
Menteri Sosial periode 2024 – 2029, Saifullah Yusuf, menegaskan bahwa Soeharto memenuhi syarat untuk diangkat sebagai pahlawan Nasional! Bagi kalangan Nahdliyin yang punya akses lebih, bisa langsung menemui beliau dan meminta untuk menjelaskan secara detil, karena jika sebatas membaca statement di media sama saja seperti melihat buah mangga di pohon.
Menurit saya pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional di era Presiden Prabowo Soebianto tentu saja erat kaitannya dengan kepentingan politik. Yang mendukung menganggap Pak Harto bersih karena jasa-jasanya dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan Indonesia.
Setiap orang pasti memiliki perspektif yang berbeda, dan penting bagi kita semua untuk bisa memahami dari berbagai sudut pandang sebelum membuat satu kesimpulan. Kita jangan terburu-buru dengan mudah menelan statement seorang pejabat.
Tidak sedikit orang berkumpul dan berpikir kritis. Di warung warung kopi, di stasiun, di terminal, di cafe- cafe, di sekretariat organisasi dan di kalangan para aktivis pergerakan, mereka sepakat bilang bahwa diangkatnya Pak Harto menjadi Pahlawan Nasional adalah sebagai bentuk strategi dari Presiden Prabowo Soebianto untuk “membantai” kembali antek antek PKI dengan cara yang lebih halus.
Jenderal Besar TNI (Purn.) H.M. Soeharto, yang dijuluki The Smiling General oleh dunia internasional kembali mencuat namanya setelah di tetapkan menjadi Pahlawan Nasional. Keputusan pemerintah di bawah kepemimpinan rezim Prabowo Subianto menjadi kontroversi yang tidak akan pernah selesai sampai hari kiamat tiba selama ada orang yang mau membaca dan belajar sejarah.

