ROKOK LEGAL…RIWAYATMU KINI  By Isfandiari MD

“Mirip..mirip! Hampir gak bisa dibedain, dan harga sangat friendly! Beli tuh di warung pas seberang jalan, nih mereknya!” Obrolan antusias Ridwan yang suka desain old chopper pada bradernya sesama penikmat motor kustom. “Bener? Thx for the info,” katanya singkat. Ia sedang menghisap satu batang rokok Gudang Garam Merah   yang tinggal satu-satunya.  Dan begitulah, batang-batang selanjutnya ia sudah ganti merek, lebih murah, rasa tak jauh beda dan ilegal tanpa cukai.

Ikhtiar  produk rokok ilegal ‘membela’ smokers dengan harga anjlok bisa dianggap pahlawan buat mereka dan musuh besar pabrik rokok yang sudah establish membangun kerajaan super besar puluhan tahun. Mereka memang curang, memproduksi rokok tanpa bayar  pajak demi keuntungan pribadi. Tapi inilah jalannya peradaban dan sebuah keadilan sedang diperjuangkan.

Rokok ilegal hadir ke bumi bukan tanpa alasan. Mereka alamiah datang jika semesta mengijinkan. Perokok yang kebanyakan menengah ke bawah kadung nyandu untuk menghisap batang demi batang  demi batin happy gak stress. Rokok sudah jadi teman hidup setia menemani dalam suka-duka. Sepi rasanya jika tak ada batang yang diempit diantara jari. Linglung juga hang out diwarung kopi tanpa ada asal mengepul. Dan tentu, semuanya perlu uang untuk maharnya, sesuai prinsip ekonomi:  dicari yang semurah mungkin agar kantong tak oleng akan mahalnya rokok legal di warung, indomart, alfamart sampai warung madura.

Peralihan berburu rokok ilegal sungguh luar biasa. Sebuah gelombang yang mengguncang Ini banyak pihak. Walau skala pemantik kecil, peristiwa 309 karyawan Gudang Garam yang berhenti dalam skenario normatif, pensiun normal dan pensiun dini yang dilakukan sukarela. Wajah-wajah sendu buruh pabrik  dengan pipi basah tumpahan genangan air mata. Mereka galau, menapaki masa depan. Pihak perusahaan  buka statement, “Tidak ada PHK massal, operasional normal.” Begitulah. Ketua KSPSI, Jumhur Hidayat  bicara apa adanya. Katanya PHK itu nyata dalam balutan lebih soft. Kepala Disnakertrans Jatim Sigit Priyanto juga buka suara. Katanya, kasus yang ramai di media sosial itu bukanlah PHK. Namun, para pekerja itu ditawari untuk pensiun dini. “Informasi awal dari manajemen gudang garam bahwa memang ada program pensiun dini. Bukan PHK. Karena pensiun dini itu ditawarkan ke pekerja,” kata Sigit saat dikonfirmasi, Senin (8/9) kemarin.

    Walau satu percikan, fenomena ini layak dicermati. Bicara Gudang Garam, bukan bicara masalah sepele. Mereka raksasa luar biasa, Wara wiri di dunia rokok sejak 1958 dengan logo yang simpel unik dan jauh dari pakem desain modern, cuma gambar gudang dan rel kereta api. Buruhnya ratusan ribu dan yang berperan selain buruh pabrik, ada masyarakat petani tembakau, supir truk pengangkut, kos-kosan sekitar pabrik, warung nasi, ojek dan banyak lagi. Saat semuanya berhenti, berhenti pulalah aktvitas mencari nafkah mereka yang terhubung. Ini bisa jadi bencana besar, pengangguran membawa efek efek destruktif dalam peradaban bangsa. Mata rantai yang satu persatu meledak dan menunggu rentetan masalah yang makin mengental. Bukan begitu?

    Soal rokok ilegal yang mirip dan murah seperti diusulkan Ridwan orang banyak maklum. Ekonomi yang seret membaut banyak aternatif. Mereka perlu berbenak secara hukum dan moral untuk bersaing lebih gentle untuk menjadi  legal dan bercukai. Ini butuh perjalanan panjang, proses birokrasi, proses batin dan nurani.  Tapi administrator (baca pemerintah) juga harus berbenah! Pajak cukai untuk rokok  perlu ditinjau ulang. Hitungannya, satu batang rokok legal, 78 persennya lari ke kas negara dalam bentuk cukai. Keuntungan pabrik yang sisanya itu. Artinya mereka berat menjaga klestabilan perusahaan apalagi datang pesaing  baru, rokok ilegal yang menjamur. Dari sini terjawab juga khan, datangnya ‘soft’ PHK yang menyerang sendi-sendiri kehidupan tak hanya karyawan tapi mereka yang nyambung karena tangan tangan pemerintah. Masukannya, mereka tak melulu berpikir ikhwal pendapatan negara tapi juga berpikir taktis soal kesejahteraan rakyat termasuk pebisnis yang punya tujuan mencari keuntungan. Harmoni ideal antara Pemerintah yang berhak  mengeruk pajak, pebisnis yang perlu lingkungan sehat untuk survive dan konsumen yang dihujani berbagai aternatif harus jadi bahan renungan.

    Jika sudah ada solusi, Ridwan pede pada sohibnya! “Ada rokok merek lain yag harganya murah, seperti juga rokokku  yang gak begitu mahal. Sekarang ini semua rokok mirip mirip lah soal harga. Tergantung selera, kuantitas batang dan selera. Semuanya legal. Mau merek yang sudah beken jauh hari atau  pemain baru yang sedang mencari pasarnya sendiri. Kamu mau beli yang mana terserah! Oh ya titip rokokku satu ya, traktir!” – Rekannya mengangguk jengkel, ia lantas menyebrang jalan membeli rokok pesanan Ridwan dan untuk dirinya sendiri.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *