
Jika ada satu hal yang paling dirindukan dari dunia kepenulisan dan politik Indonesia hari ini, itu adalah “tawa”. Bukan tawa kosong. Melainkan tawa cerdas yang menampar kesadaran. Tawa yang dihadirkan oleh seorang santri Betawi kelahiran Jakarta, 27 Juli 1933.
Namanya Mahbub Djunaidi.
Memperingati hari kelahirannya bukan sekadar mengingat tanggal. Itu adalah mengingat sebuah era di mana kritik bisa disampaikan dengan elegan, tanpa urat leher yang menegang, namun tajamnya melampaui pedang.
Santri yang Bohemian
Mahbub adalah anomali yang indah. Ia anak seorang Kyai besar (KH Djunaidi), tokoh Nahdlatul Ulama (NU). Darah pesantren mengalir deras. Namun, pergaulannya melintasi sekat.
Ia bisa duduk bersila membahas kitab kuning dengan para ulama, tapi di sore hari ia bisa berdebat sastra dengan Pramoedya Ananta Toer atau Sitor Situmorang. Ia mendirikan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), tapi ia juga Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang disegani lintas ideologi.
Gaya tulisannya adalah sihir.
Bung Karno—presiden pertama yang dikenal punya selera sastra tinggi—terpikat padanya.
> “Saya menyukai tulisan-tulisanmu, Mahbub,” kata Bung Karno suatu kali.
>
Kedekatan itu membuat Mahbub sering disebut sebagai “Bung Karno kecil” dalam hal gaya orasi dan tulisan. Namun, Mahbub tetaplah Mahbub. Ia punya warnanya sendiri: Humor.
Kritik Tanpa Kebencian
Hari ini, kritik seringkali identik dengan caci maki. Mahbub mengajarkan jalan lain. Ia mengkritik lewat satire. Kolom “Asal Usul” di Harian Kompas adalah buktinya. Ia bisa membicarakan kenaikan harga cabai, lalu menyambungkannya dengan kebijakan negara, dan diakhiri dengan lelucon tentang burung perkutut. Pembaca tersenyum, tapi pejabat yang disentil merasa “panas dingin”.
Ia pernah berkata, “Humor itu urusan serius.” Baginya, menertawakan keadaan adalah cara bertahan hidup yang paling rasional di tengah ketidakwarasan politik.
Ia pernah ditahan oleh rezim Orde Baru. Apakah ia keluar dengan dendam? Tidak. Ia justru menerjemahkan buku Road to Ramadan karya Mohamed Heikal dan menulis novel Dari Hari ke Hari. Penjara tidak mematikan kreativitasnya; justru memberinya waktu luang yang mewah.
Warisan Sang Pendekar
Mahbub Djunaidi dijuluki “Pendekar Pena”. Julukan yang tidak berlebihan. Ia menulis ratusan esai, menerjemahkan buku 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia karya Michael Hart (yang menjadi best-seller abadi), dan memimpin organisasi wartawan di masa sulit.
Apa yang bisa kita pelajari di hari kelahirannya ini?
* Integritas Penulis: Mahbub menulis dengan hati nurani, bukan pesanan cukong.
* Keluwesan Bergaul: Ia adalah jembatan. Ia orang NU, tapi diterima di kalangan nasionalis, sosialis, bahkan komunis sekalipun dalam konteks persahabatan kemanusiaan.
* Kecerdasan Humor: Ia mengajarkan bahwa kita tidak perlu menjadi pemarah untuk terlihat benar.
Mengenang Mahbub Djunaidi adalah mengenang bagaimana bahasa Indonesia bisa diolah menjadi senjata yang mematikan sekaligus menghibur.
Al-Fatihah untuk Sang Pendekar Pena. Tulisanmu abadi.
ET Hadi Saputra, Jakarta.

